Best-seller: Dilahirkan atau Diciptakan?

By Pexels--2286921 from Pixabay at CanvaPro



Ada buku-buku yang sejak awal sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi best-seller, seperti misalnya novel-novel karya Dan Brown (yang baru terbit dari Mizan adalah The Lost Symbol). Biasanya begitulah untuk sekuel dari sebuah buku dalam satu serial yang ditunggu-tunggu. Dilahirkan untuk menjadi best-seller.

Tapi siapa yang bisa memastikan sejak awal bahwa buku pertama dari serial itu akan menjadi best-seller? Siapa yang bisa memastikan naskah karya seorang pendatang baru, misalnya, bakalan menjadi buku terlaris?

Best-seller memang teka-teki. Ada yang pernah menyebutnya sebagai "perjudian" di dalam penerbitan buku, walaupun beberapa mencoba untuk menyarikan ciri-ciri penentunya, dari struktur cerita, tema, momen, nama pengarang, dan unsur-unsur lainnya. Tapi tetap tidak bisa seratus persen memastikannya.

Oleh karena itu menjadi beban tak terukur bagi seorang editor ketika diminta untuk menemukan naskah best-seller yang dilabeli "akan menggantikan posisi The Lost Symbol". Seorang teman buru-buru menjawab, lalu menyebut nama Steve Berry ketika soal itu ditanyakan dalam sebuah rapat.

Sejauh apa bisa dipastikan serial thriller karya penulis mantan pengacara itu bakal laris di sini? Tak bisa kecuali setelah dicoba. Atau diupayakan untuk menjadi best-seller setelah buku itu dipastikan akan diterbitkan. Di situlah pertaruhannya. 

Maka untuk menghindari kerepotan yang tak perlu pada tahap akuisisi, kiranya label "best-seller" tak perlu dilekatkan seawal itu. Bagaimana menurutmu?

Komentar

  1. Menemukan buku BEST-SELLER jelas mustahil. Seperti kata Daniel Dhakidae bahwa para pengelola penerbit buku bagaikan "sedang bermain badminton di tengah badai". Editor senior di sebuah penerbit asing terkenal juga mengatakan bahwa--Mbak Tutuk dan Mbak Sari suka mengutip ini--ikut bergelut dengan bisnis penerbitan buku sama saja bergelut dengan "harapan kosong" (blind hope).

    Jadi, bagaimana ini? Yang jelas--menurut pengalaman saya dan berkali-kali ditegaskan oleh mas Haidar--kita memang tidak bisa menemukan buku BEST-SELLER; kita hanya dapat menemukan buku yang bermanfaat dan kemudian MENGEMAS (menjadikan) buku itu tampil sangat prima--baik itu bahasa seluruh buku, judul, desain sampul, dll. Salam.

    BalasHapus
  2. 'Blind hope' saya kira tidak sama dengan 'harapan kosong'. Harapannya tetap ada tapi kita tidak bisa memastikan wujudnya, arahnya, karena banyak hal yang tidak bisa kita pastikan, atau tidak bisa kita ukur perilakunya.

    Harapan kita hanya sejauh yang kita bisa upayakan, yaitu "menemukan buku yang bermanfaat dan kemudian MENGEMAS (menjadikan) buku itu tampil sangat prima--baik itu bahasa seluruh buku, judul, desain sampul, dll."

    BalasHapus
  3. Bicara soal menemukan/menciptakan bestseller, saya selalu ingat novel thriller detektif karya Lisa See yang diterbitkan Qanita, Jaring-Jaring Bunga. Kisahnya menarik, dan dirilis ketika itu pada moment yang (menurut kami) tepat--tahun baru Imlek, karena seting dan tokoh China dalam novel itu, dengan upaya promosi yang besar-besaran--POP di toko2 besar, stiker mobil yang menyebabkan kami sempat kena tilang karena penstikerannya ternyata perlu kir khusus (haha!). Tetapi ternyata novel yang kemasannya pun digarap dengan ciamik itu tetap saja jeblog penjualannya. Jadi memang menurut saya ada faktor X yang berperan dalam menentukan apakah sebuah buku akan bestseller atau tidak. Dan sebenarnya ini biasa saja. Bukankah semua hal dalam hidup memang demikian? :)

    BalasHapus
  4. Dan barangkali pernah juga(kah) ada kasus buku yang nggak "diapa-apain" tapi malah laris manis di pasaran?

    BalasHapus
  5. Ada satu judul yang ingin saya sebut di sini, tapi mungkin giliran teman-teman lain dululah coba merinci :)

    BalasHapus
  6. Oke, saya kira saya setuju dengan soal harapan itu. Kita tentu berharap apa yang terjadi di depan itu baik (atau lebih baik dari yang terjadi sebelumnya)--termasuk dalam menerbitkan buku. Kalau Kelompok Mizan pernah menerbitkan buku dengan oplah yang bisa mencapai ratusan ribu eksemlar, tentu diharapkan ke depan bisa satu juta eksemplar. Harap0n ini tidak muluk. Tapi, harapan seperti ini tidak bisa dicapai kalau kita tidak meningkatkan kinerja kita.

    Jadi, ada kemungkinan, memang, karena persaingan, tantangan yang lebih keras, dsb., harapan ke depan kayak NGGAK ADA--kosong. Nah, apakah kita harus menyerah dengan keadaan yang sekaan-akan seperti tak ada harapan itu?

    Saya berkali-kali mengalami harapan kosong itu ketika bersama Mizan. Misalnya, pada tahun 1988, Mizan mau tuutp karena produksi hanya 1 buku sebulan dan tak laku. Waktu itu, Penerbit Shalahuddin Press dan yang lain mati. Toh, saya harus terus berharap dan bertahan sekuat daya.

    Inilah yang mau saya bagikan di sini. Saya yakin sekali, jika kita kerja sungguh-sungguh, sekuat daya, lebih teliti, lebih cermat, kritis, tolong-menolong (saling membantu), saling mengingatkan, terus mencari yang baru, terus mencoba inovasi baru, tidak gampang menyerah, HARAPAN ITU AKAN MEWUJUD NYATA. Kita pasti berhasil--setidaknya berhasil meningkatkan diri kita sendiri karena upaya-upaya mulia. Dan jika diri kita meningkat, perusahaan juga pastgi untung karena akhirnya toh kesuksesan itu akan tiba....

    BalasHapus
  7. salam dari tehran
    betul kata mas her dan mbak yuli: hampir mustahil memastikan sejak awal bahwa suatu naskah akan jadi bestseller. itu terasa sekali sekarang, ketika saya berada di tengah jutaan judul buku di tehran book fair. apa yang mesti dipilih, dg preferensi bagaimana?
    yang bisa jadi pegangan sementara barangkali adalah membaca gejala buku2 bestseller yang ada di indonesia, lalu dari sana mencoba mengkonstruksi sendiri kriteria bestseller. all in all, menurut saya, instink editor ikut bicara. di dunia yang penuh ketidakpastian, pengalaman ikut berperan karena ada faktor mielinisasi---10.000 jam deep-practice akan menjadikan anda mahir di bidang apa pun, kata gladwell.

    baiquni
    from the land of ayatullahs

    BalasHapus
  8. kayaknya aku pernah nulis subjek seperti ini. menurutku, yang paling penting ialah mengusahakan buku agar penjualannya bagus. tapi soal sukses atau gagal itu relatif dan bisa ditimbang-timbang. lebih dari itu, kegagalan dan kesuksesan merupakan bagian dari kehidupan. :)

    BalasHapus
  9. lucu juga kalau ingat, di salah satu presentasiku, pernah kubilang dengan jumawa bahwa "lucu has nothing to do with it". ternyata pengalaman membuktikan lain. tapi memang bukan berarti kita cuman bisa "menunggu godot" aja untuk dapat best-seller ini kan? *menghela nafas panjang*

    BalasHapus
  10. sori, ralat, maksudnya: "luck has nothing to do with it." hehe

    BalasHapus
  11. bagaimana dengan promosi getol tular dari mulut ke mulut? terutama untuk naskah lokal ya... kalau naskah luar negeri selama ini saya lihat tren best seller dipengaruhi oleh gaung naskah di luar negeri.

    BalasHapus
  12. Mbak Esti, promosi getok-tular itu sekarang ini--merujuk ke "new wave marketing"-nya HK--terjadi di dunia internet via blog, milis, twitter, facebook, dll. Jadi, kuncinya memang mengabarkan bahwa ada terbit buku ini-itu. Hanya, memang, jangan seperti berpromosi produk yang mmebuat orang sebal dan kesal. perlu dicari cara yang lebih elegan dan halus.

    Eh, ngomong-ngomong dulu promosi Mizan melakukannya secara rutin dan bagus lho. Kok kayaknya sekarang agak melempem ya? Kurang gencar? Ada sih beberapa info yang disebar di Facebook, misalnya, tapi sudah mulai membosankan. Kurang kreatif dan kayak kurang "darah".

    Pokoknya, selain pengemasan produk yang perlu tampil secara brilian dan greng, agar buku dapat menjadi calon best-seller, memang diperlukan promosi (pemberitahuan) yang sifatnya bisa ke mana-mana tapi kreatif. Pelbagai saluran di internet sangat mungkin untuk dimanfaatkan. Salam.

    BalasHapus
  13. Sangat setuju Mas Hernowo, memang diperlukan kreativitas dan kepekaan untuk membuat 'iklan' buku tidak terasa seperti iklan. Apalagi bila disebar via dunia komunitas maya. Saya lihat sekarang sudah banyak sekali iklan serupa di dunia maya, kita perlu mencari cara yang lebih elegan dan halus, namun mengajuk dan mengundang (intriguing).... dan idealnya utasan iklan itu akan menyebar dengan sendirinya (itulah cita2 semua pengiklan di dunia maya bukan?)....
    Dan mengingat paparan Mas Anwar Holid ketika pertemuan editor tentang Twelve Publishing, sepertinya kita perlu belajar lebih banyak lagi tentang cara-cara mengiklan yang halus, subtle, namun mengena dan panjang usia...
    Bagaimana Mba Yuli?

    BalasHapus
  14. Salah satu informasi yang paling berpengaruh dalam pembelian buku konon adalah "rekomendasi teman". Saya secara pribadi setuju dengan itu, karena sering kali saya memutuskan untuk baca/beli sebuah buku karena ada teman yang membicarakannya, mengajak membacanya, menulis tentang buku itu.

    Orang di luar penerbitan sekali kali kekurangan informasi tentang buku baru/menarik, jadi saya kira cara beriklan yang ampuh pada tingkatan pribadi adalah dengan menyebut/menulis/merekomendasikan buku, melalui komunikasi online maupun offline.

    BalasHapus
  15. bagiku, untuk menjadikan buku best seller adalah dengan adanya rekomendasi dari tokoh atau penulis yg sdh terkenal. kmd dari sisi isi memang sangat bermanfaat untuk setiap pembaca, mencerahkan, menyuplai energi. meskipun toh hampir senada isinya dengan buku lain, tpi ttp memiliki ciri khas tersendiri yg menarik dan memberi perubahan baru yg signifikan dari setiap pembaca. thanks

    BalasHapus

Posting Komentar